Rabu, 04 September 2019

Naskah Khotbah
From Everything to Nothing
(Filipi 2:5-11)
Casthelia Kartika
Pendahuluan
Dalam hidup ini kebanyakan orang akan hidup dengan
prinsip ekonomi yang secara umum telah diterima sebagai teori:
Mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
pengeluaran sekecil-kecilnya. Salahkah teori ini? Dengan mudah kita
katakan: Tidak. Malahan kita bisa katakan ini gaya hidup penuh
hikmat. Mengapa harus keluar banyak, kalau keluar sedikit saja sudah
bisa mendapatkan banyak? Maka tidak heran kalau cara pandang,
cara pikir, dan sampai kepada sikap kita, lebih senang menerima
daripada memberi. Jadi sudah bisa dipastikan, bahwa tidak ada
seorang pun yang secara rasional bersedia menukar apa yang enak
menjadi tidak enak, apa yang bagus untuk mendapatkan yang jelek.
202 Jurnal Amanat Agung
Misalnya, apakah orang dengan mudah menukar kekayaan dengan
kemiskinan, kesehatan dengan kesakitan, cinta dengan
pengkhianatan, kekuasaan dengan kelemahan, jabatan atau
kedudukan dengan keadaan tanpa posisi, kehormatan dengan
kehinaan, kemuliaan dengan penderitaan? Impossible. Semua orang
ingin menambah apa yang sudah dimiliki, bukan mengurangi apalagi
melepaskan, letting go. Dalam refleksi dan disiplin spiritualitas,
dikenal sebuah istilah ‘detachment’. Henri Nouwen memberikan
pengertian, “Detachment is often understood as letting loose of what
is attractive.” (Detachment sering dipahami sebagai membiarkan
pergi atau hilang apa saja hal yang menarik bagi kita). Ignatius Loyola
adalah seorang yang sangat ketat sekali menjalankan disiplin ini
dalam hidupnya. Dalam salah satu doanya yang terkenal, ia
mengatakan:
“Take, O Lord, and receive my entire liberty, my memory, my
understanding and my whole will. All that I am and all that I possess
You have given me: I surrender it all to You to be disposed of according
to Your will. Give me only Your love and Your grace; with these I will
be rich enough, and will desire nothing more.” (Ya Tuhan, ambillah
dan terimalah seluruh kebebasanku, memoriku, pengertianku dan
seluruh kehendakku. Seluruh hidupku dan semua yang kumiliki yang
Kau berikan padaku: Aku menyerahkan semuanya kepada-Mu.
Berikan kepadaku kasih-Mu dan anugerah-Mu saja. Dengan itulah
aku cukup merasa kaya, dan tidak menginginkan apa-apa lagi.)
Naskah Khotbah 203
Mengosongkan Diri-Nya
Jika kita mengingat apa yang dilakukan Yesus dalam hidup-
Nya, dalam misi keselamatan bagi umat manusia, dalam hidup dan
karya-Nya, terhadap apa yang dimiliki dan dikuasai-Nya, maka kita
akan menemukan bahwa Yesus melakukan detachment yang luar
biasa dalam diri-Nya. Dia yang Maha Kuasa menjadi manusia yang
tidak berdaya dan lemah, Dia yang mulia memberikan diri untuk
dihina, Dia yang memiliki surga, memilih untuk meninggalkannya dan
masuk ke dunia yang kemudian menolak-Nya. Sebuah gambaran
yang sama sekali berbeda dari yang seharus kalau seseorang
berbicara tentang Tuhan, Allah, Mesias, Juruselamat. Dalam
kedatangan-Nya ke dunia, ia meninggalkan atau membiarkan pergi
semua yang Ia miliki. Sebuah konsep yang tidak mudah diterima oleh
kebanyakan orang di masa itu ketika berbicara tentang Tuhan,
Mesias, Juruselamat, terutama oleh orang-orang di bawah kekuasaan
Romawi, di mana FIlipi termasuk di antaranya. Karena dalam
bayangan kebanyakan orang pada waktu itu, seorang pemimpin
heroik ialah seorang yang memiliki segalanya. Paling tidak yang
mereka ingat dalam bayang-bayang kekuasaan Alexander Agung,
misalnya. Seorang yang hebat dan luar biasa. Di usia ke 20, ia telah
menyuksesi ayahnya untuk memerintah Makedonia, dan secara
cepat ia dapat menguasai seluruh Yunani. Wilayah kekuasaannya
terus bertambah, dan ia merasa bahwa apa yang dilakukannya itu
tidak ada tandingannya, sampai ia sendiri merasa bahwa dirinya-lah
204 Jurnal Amanat Agung
Tuhan dan mengikhtiarkan orang-orang di bawah kekuasaannya
untuk menyembahnya. Demikian juga yang mereka rasakan dengan
Kaisar Agustus pada saat itu, dimana kekuasaan yang dimilikinya
tidak jauh berbeda dengan Aleksander Agung. Kaisar Agustus-lah
yang pada akhirnya menyelesaikan seluruh peperangan yang
dilakukan oleh Romawi sepanjang memperluas daerah kekuasaannya
dan ia dianggap sebagai orang yang membawa damai ke seluruh
dunia dengan program yang sangat terkenal, yaitu pax Romana.
Begitu banyak penghormatan yang ditujukan kepadanya, bahkan
sampai pengkultusannya sebagai Tuhan. Pada kenyataannya konsep
Tuhan, Juruselamat, memang sangat identik dengan kepemimpinan,
kekuasaan, kepahlawanan, kekuatan militer.
Namun Paulus di sini sengaja membentangkan kenyataan
tentang Yesus orang Nazaret itu adalah Tuhan yang sejati, dan
Alexander Agung atau kaisar Agustus hanyalah sebuah karikatur,
bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Pada bagian inilah, yang oleh
kebanyakan penafsir disebutkan sebagai jantung tulisan Paulus
kepada jemaat di Filipi, Paulus menegaskan siapa dan apa yang
dilakukan oleh Yesus Kristus dalam keberadaan-Nya sebagai Allah
yang sejati bagi umat manusia. Penegasan Paulus adalah Yesus itu
Allah yang menjadi manusia. Ia memiliki kesetaraan dengan Allah,
tetapi itu bukan sesuatu yang dipertahankan-Nya. Justru Ia
mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. Yang menjadi penekanannya adalah,
sebelum Yesus menjadi manusia, Dia adalah Allah. Dia sudah ada
Naskah Khotbah 205
bahkan sebelum Ia menjadi manusia. Tetapi keputusan-Nya untuk
menjadi manusia, dan menjalani semua perjalanan ketaatan,
ketaatan terhadap rencana Allah akan keselamatan umat manusia,
yang harus dilalui-Nya melalui jalan salib itu, sesungguhnya
keputusan ini tidak akan menghentikan ke-Allahan-Nya. Justru
keputusan ini adalah tentang ‘apakah arti yang sesungguhnya
menjadi Allah.’ Yesus Kristus menjadi sama dengan kita, supaya kita
bisa menjadi seperti Dia. Itulah arti inkarnasi. Paulus menekankan lagi
bahwa kesetaraan Yesus dengan Allah bukanlah hal yang membuat
Yesus mengambil keuntungan agar mempermudah jalan-Nya untuk
menyelamatkan umat manusia. Ia tidak mengambil keuntungan apaapa
dari kesetaraan itu. Lebih jauh N. T. Wright mengatakan, “Bahkan
kesetaraan dengan Allah itu dipakai-Nya sebagai penyerahan diri-Nya
atas tugas yang harus ditanggung-Nya, yaitu menjadi manusia,
menjadi representasi Israel sebagai yang diurapi, menjadi seorang
yang akan mati dengan menanggung beban kejahatan dunia ini.”
Inilah arti yang diambil oleh Yesus memaknai kesetaraan-Nya dengan
Allah. Tindakan pengosongan diri-Nya itu justru menunjukkan bahwa
Dia adalah Allah sejati. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika Dia
bukan Allah. Jadi ketika melihat Yesus yang tergantung di salib, kita
harus selalu ingat, inilah arti yang sesungguhnya tentang siapa Allah
itu. Dialah Allah yang rela melepaskan segala sesuatu yang dimiliki-
Nya, dan rela berada dalam keadaan yang paling rendah dari segala
keberadaan yang dimiliki oleh manusia, menjadi seorang hamba yang
taat sampai mati. Bahkan kematian-Nya pun bukan kematian biasa,
206 Jurnal Amanat Agung
tapi kematian sebagai seorang yang terkutuk karena pelimpahan
dosa dunia pada diri-Nya. He is the God of self-giving love. Dia
melepaskan kemuliaan-Nya untuk mengambil kehinaan yang harus
ditanggung-Nya. Detachment! Agar manusia kemudian memperoleh
kelimpahan hidup dalam kematian-Nya.
Penutup
Pada akhirnya, Paulus menutup bagian ini dengan ungkapan
kemenangan yang ditujukan kepada Yesus, bahwa kemuliaan,
peninggian, hormat dan penyembahan kepada diri-Nya, yang
sesungguhnya ini hanya milik Allah saja (dalam pandangan orang
Yahudi), dinyatakan juga kepada Yesus Kristus sebagai bukti bahwa
memang Yesus adalah Allah. Dia berhak mendapatkan hormat dan
kemuliaan itu, walaupun Ia memilih untuk tidak menggunakan hak-
Nya dan meninggalkan semua yang dimiliki-Nya bahkan sebelum
dunia dijadikan. Maka meninggikan Yesus Kristus adalah peninggian
terhadap Allah. Tentulah hal ini membuat banyak orang di masa
Paulus itu terkejut mendengarnya. Mereka sudah terbiasa dengan
konsep yang besar dan tinggi tentang Tuhan, yang direpresentasikan
oleh Alexander Agung dan kaisar Agustus. Tidak sulit untuk melihat
aspek ketuhanan dalam segala sesuatu yang mereka miliki, dari
kekayaan sampai kekuasaan. Tetapi melihat Yesus sebagai orang
Yahudi yang disalibkan, dan kemudian mengakui-Nya bahwa Dia
adalah Tuhan, tentu itu persoalan lain yang tidak selesai dengan
mudah untuk dibahas. Namun Paulus tidak bergerak dari pemikiran
Naskah Khotbah 207
ini, bahwa Yesus yang disebutnya setara dengan Allah dalam
keberadaan-Nya sebagai manusia, Dialah Allah yang sesungguhnya.
Dan kita mengenal Dia sebagai Allah yang meninggalkan hak-hak-Nya
demi dunia dan umat manusia yang dikasihi-Nya.
Kembali kita mengingat apa yang dikatakan oleh Paulus
ketika memulai himne yang luar biasa agungnya ini. Ia katakan, Mari
kita memiliki dan menaruh pikiran dan perasaan yang juga ada di
dalam Kristus. Di dalam pikiran-Nya, di dalam perasaan-Nya, tidak
ada satu pun yang perlu dipertahankan bahkan kesetaraan-Nya
dengan Allah. Namun justru di situlah letak kuasa dan kehebatan
seorang yang kita panggil sebagai Tuhan.
Mari kita belajar memiliki cara pikir, prinsip dan sikap hidup
seperti Kristus. Bahkan ketika semua yang kita pikir itu adalah hak kita
dan milik kita, belajarlah untuk membiarkannya hilang dan pergi dari
hidup kita. Sambil terus mengatakan, tidak ada yang lain yang
kuingini di bumi ini selain Engkau. Sama seperti Kristus, tidak ada
yang lain yang diingini-Nya, kecuali taat sampai mati pada kehendak
Bapa-Nya. This is the true victory!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Naskah Khotbah From Everything to Nothing (Filipi 2:5-11) Casthelia Kartika Pendahuluan Dalam hidup ini kebanyakan orang akan hidup den...